Senin, 07 Februari 2011

Bolehkah Wanita Ziarah Kubur

Pendapat Ulama Tentang Hukum Wanita Berziarah Kubur
Dari ibnu Buraidah dari ayahnya berkata,”Rasulullah saw bersabda,’Aku pernah melarang kalian dari berziarah kubur maka ziarahilah.” (HR. Muslim).
Didalam riwayat Abu Daud ditambahkan,”..Sesungguhnya ia adalah peringatan.” Didalam riwayat al Hakim disebutkan,”Ia (Ziarah kubur) melunakkan hati, mengucurkan air mata, maka janganlah berkata kotor.” sedang didalam riwayat Tirmidzi disebutkan,”Maka sesungguhnya ia mengingatkan akherat.” Ia mengatakan,’Hadits Buraidah adalah hadits Hasan Shohih)
Para ulama bersepakat bahwa diperbolehkan bagi kaum laki-laki untuk berziarah kubur. Adapun bagi kaum wanita maka terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama :
1. Haram secara mutlak, baik menimbulkan fitnah, kemudharatan atau tidak, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas berkata,”Rasulullah saw melaknat para wanita yang menziarahi kubur dan menjadikannya masjid dan memberikan penerangan diatasnya.” (HR. Abu Daud)
2. Haram apabila akan menimbulkan fitnah berdasarkan hadits dari Abdullah bin Murroh dari Masruq dari Abdullah dari Nabi saw bersabda,”Bukan dari kami orang yang menampar pipi, menyobek baju dan mencaci dirinya dengan cacian jahiliyah.” (HR. Bukhori)
3. Makruh, berdasarkan hadits dari Ummu ‘Athiyah berkata,”Kami dahulu dilarang untuk mengikuti jenazah, namun hal itu tidak dipastikan kepada kami.” (HR. Bukhori Muslim)
4. Boleh, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ibnu Buraidah dari ayahnya berkata,”Rasulullah saw bersabda,’Aku pernah melarang kalian dari berziarah kubur maka ziarahilah.” (HR. Muslim).
Kebanyakan ulama mengatakan bahwa ziarah kubur bagi wanita adalah boleh dikarenakan para wanita termasuk didalam keumuman hadits diatas, selama tidak mengundang fitnah.
Pendapat ini dikuatkan dengan hadits Anas bin Malik ra berkata,”Bahwa Rasulullah saw melewati seorang wanita yang sedang menangis di sebuah kuburan. Beliau saw bersabda,’Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah.’
Wanita itu mengatakan,’Sesungguhnya engkau tidaklah ditimpa musibah seperti yang telah menimpaku sehingga engkau tidak mengetahuinya.’ Dikatakan kepada wanita itu,’Sesungguhnya orang ini adalah Nabi.’ Maka wanita itu pun mendatangi Nabi saw dan ia tidak mendapati adanya para penjaga disisi Nabi saw. Wanita itu berkata,’Aku tidak mengenalmu.’ Beliau bersabda,’Sesungguhnya sabar adalah pada saat pertama kali mendapati (musibah itu).” (HR. Bukhori).
Hadits ini menunjukan bahwa nabi saw tidaklah melarang wanita itu duduk di kuburan dan taqrir (pengukuhan) beliau saw adalah hujjah (dalil).
Dan diantara orang yang membolehkannya secara umum bagi laki-laki maupun perempuan adalah Aisyah. Diriwayatkan oleh Hakim dari jalan Ibnu Abi Mulaikah bahwasanya dia pernah melihat Aisyah menziarahi kuburan saudara laki-lakinya, Abdurrahman.”Aisyah ditanya,’Bukankah Nabi saw telah melarang hal ini.’Dia menjawab,’Ya, dahulu beliau saw pernah melarangnya kemudian memerintahkan untuk menziarahinya.” (HR. Baihaqi)-- (Fathul bari juz III hal 180)
Telaah Beberapa Dalil Diatas
Imam Tirmidzi mengatakan,”Hadits Ibnu Abbas diatas yang diapakai sebagai dalil oleh mereka yang mengharamkan wanita berziarah kubur menurut sebagian ulama bahwa hadits itu terjadi sebelum adanya rukhshoh (keringanan) dari Nabi saw untuk ziarah kubur. Tatkala ada rukhshoh maka yang termasuk didalam rukhshoh ini adalah kaum laki-laki dan wanita.” (Aunul Ma’bud juz V hal 41)
Terhadap hadits pelaknatan yang digunakan oleh mereka yang mengharamkan ziarah wanita ke kuburan, maka disebutkan Ibnu Taimiyah bahwa telah datang riwayat dari Nabi saw melalui dua jalan :
1. “Annahu la’ana zuwarootil qubuur; artinya,’Bahwasanya beliau saw telah melaknat para wanita yang berziarah kubur.” dari Abu Hurairoh,”Annan Nabiyya la’ana zaairootil qubuur, artinya,’Bahwa Nabi saw telah melaknat para wanita yang berziarah kubur.” Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, Tirmidzi dan dishohihkan olehnya.
2. Dan dari Ibnu Abbas bahwa ,”Rasulullah saw melaknat para wanita yang menziarahi kubur dan menjadikannya masjid dan memberikan penerangan diatasnya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, an Nasa’i, Tirmidzi dan dihasankan olehnya, didalam kitabnya yang lain dishohihkan olehnya serta diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah )
Disebutkan,”Hadits itu telah diriwayatkan dari dua jalan yang berbeda; satu dari Ibnu Abbas dan yang lainnya dari Abu Hurairoh. Orang-orang yang meriwayatkan didalam hadits yang satu bukanlah mereka yang meriwayatkannya pada hadits yang lainnya. Kedua kelompok tersebut tidak saling meriwayatkan dari yang lainnya. Didalam kedua sanadnya tidak ada orang yang diragukan karena berdusta.
esungguhnya pelemahannya hanya dari sisi buruknya hafalan. Dan dalam keadaan seperti ini tetap dianggap sebagai hujjah (dalil) yang tidak bisa diragukan. Ini adalah hasan yang paling baik yang telah disyaratkan oleh Tirmidzi, dia meletakkannya pada hasan dikarenakan banyaknya jalan dan tidak ada orang yang disangsikan didalamnya serta tidak menyimpang atau bertentangan dengan apa yang telah diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqoh (dipercaya).”
Sedangkan pendapat dari mereka yang mengatakan bahwa ziarah wanita ke kuburan adalah makruh, yaitu Ahmad, Syafi’i dan para pengikutnya adalah bahwa hadits tentang laknat itu merupakan dalil terhadap pengharaman sedangkan hadits perizinan—Hadits Aisyah—menghilangkan pengharaman itu, sehingga yang tinggal adalah makruh.
Hal ini dikuatkan oleh Hadits Ummu ‘Athiyah ,”Kami dahulu dilarang untuk mengikuti jenazah, namun hal itu tidak dipastikan kepada kami.” (HR. Bukhori Muslim) Ziarah adalah bagian dari mengikuti jenazah maka kedua-duanya (menziarahi dan mengikuti jenazah) adalah makruh yang tidak diharamkan.
Sebagian dari ulama yang mengatakan makruh, seperti Ishaq bin Rohuyah, mengatakan,”Pelaknatan menggunakan lafazh az Zuwaroot, artinya; para wanita yang banyak berziarah. Maka jika hanya sekali berziarah dalam seumur hidupnya maka ia tidaklah termasuk dalam lafazh itu dan wanita tersebut tidaklah disebut dengan wanit yang sering berziarah. Mereka mengatakan,”Aisyah hanya berziarah sekali sehingga ia tidak disebut dengan wanita yang sering berziarah.” (Fathul ari juz XXIV hal 196 – 198)
Sesungguhnya hadits Anas tidaklah mengukuhkan ziarah wanita itu akan tetapi hanya memerintahkannya untuk bertakwa kepada Allah dengan menjalankan apa-apa yang diperintahkan Allah kepadanya dan meninggalkan apa-apa yang dilarang-Nya.
Secara umum hadits itu adalah pelarangan dari ziarah kubur. Beliau saw bersabda kepada wanita itu,”Bersabarlah.” Dan telah diketahui bahwa kedatangan wanita itu ke kuburan kemudian menangisinya adalah perbuatan meniadakan kesabarannya tatkala dia menolak nasehat dari Rasul saw dikarenakan belum mengenalinya dan Rasulullah saw pun berlalu darinya.
Kemudian tatkala wanita itu mengetahui bahwa yang memerintahkannya adalah Rasulullah saw maka dia pun mendatanginya dan meminta maaf kepadanya karena mengabaikan perintahnya. Jadi adakah dalil didalam hadits itu yang membolehkan ziarah kubur bagi kaum wanita?!
Pelarangan ziarah kubur yang kemudian dibolehkan—didalam Ibnu Buraidah—adalah pada awal-awal islam untuk menjaga keimanan, meniadakan ketergantungan dengan orang-orang yang sudah meninggal serta menutup jalan menuju kemusyrikan yang menjadi pangkalnya adalah mengagungkan dan menyembah kuburan.
Ibnu Abbas mengatakan,”Tatkala keimanan sudah kokoh bersemayam didalam hati mereka (kaum muslimin) dengan terkikisnya kemusyrikan dan terkukuhkannya agama maka mereka diizinkan berziarah kubur untuk menambah keimanan dan mengingatkannya terhadap apa yang telah diciptakan baginya berupa negeri yang kekal (akherat). Perizinan dan pelarangannya pada waktu itu adalah demi kemaslahatan.
Adapun bagi kaum wanita, meskipun terdapat kemaslahatan didalamnya akan tetapi ziarah mereka juga akan menimbulkan kemudharatan yang telah diketahui secara khsuus maupun umum, berupa fitnah bagi orang yang masih hidup atau menyakiti si mayit (karena tangisannya yang berteriak-teriak).
Kemudharatan ini tidaklah bisa dicegah kecuali dengan melarang mereka dari menziarahinya. Dalam hal ini kemudharatannya lebih besar daripada kemaslahatannya yang sedikit bagi mereka. Syari’ah tegak diatas pengharaman suatu perbuatan apabila kemudharatannya lebih kuat daripada kemaslahatannya. Kuatnya kemudharatan dalam permasalahan ini tidaklah tersembunyi maka melarang kaum wanita dari berziarah kubur adalah diantara perbuatan baik dalam syari’ah.“ (Aunul Ma’bud juz V hal 43)
Dengan demikian hukum bagi seorang wanita yang menziarahi kuburan adalah makruh yang tidak diharamkan selama tidak menimbulkan fitnah dan kemudharatan baik bagi diri sendiri seperti; menyingkap auratnya, berteriak-teriak, menangis dengan suara kencang, memukuli diri dan lainnya, ataupun membawa fitnah dan mudharat bagi orang lain, dan apabila hal ini terjadi maka ziarahnya menjadi haram.

http://majalah-assunnah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=148&Itemid=140

(Soal-Jawab : Majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XII)

Pertanyaan:
Bagaimanakah hukum keluarnya wanita untuk menuntut ilmu tanpa disertai dengan mahram, dikarenakan kondisi yang tidak memungkinkan? Dan bolehkah seorang wanita menggunakan inai dan kutek?
Nafiatul Nashiroh ( qibxxxx@gmail.com This e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it )
Jawaban:


Jika yang dimaksudkan dengan keluar tersebut adalah keluar rumah bukan dengan maksud bersafar (perjalanan ke luar kota), maka boleh. Sebagaimana sebagian wanita sahabat keluar rumah menemui Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam untuk bertanya tentang masalah-masalah agama. Namun, jika yang dimaksudkan ialah bersafar maka hukum asalnya wanita tidak boleh bersafar tanpa mahram. Sebagaimana disebutkan dalam hadits di bawah ini:
hadist
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallâhu'anhu, ia berkata:
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Seorang wanita tidak boleh bersafar kecuali bersama mahramnya,
dan seorang laki-laki tidak boleh masuk menemui wanita
kecuali bersama wanita itu ada mahramnya”.
Maka seorang laki-laki berkata:
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya berkehendak keluar di dalam tentara ini dan itu,
sedangkan istriku berkehendak melakukan haji”.
Maka Nabi bersabda: “Keluarlah engkau (berhaji) bersama istrimu!”

(HR Bukhâri no. 1862, Muslim no. 1341)
Yang disebut mahram seorang wanita adalah laki-laki dewasa yang haram menikah dengannya selamanya.
Sebenarnya seorang wanita dapat menuntut ilmu tanpa harus dengan bersafar, seperti membaca buku-buku terpercaya, mendengarkan kajian dari radio, CD, atau lainnya, wallahu a’lam. Solusi lainnya adalah dengan berangkat ke pondok pesantren atau sejenisnya dan tinggal di sana, dengan berangkat dan pulang disertai mahram.
Adapun pertanyaan kedua tentang pemakaian inai, bahwasanya seorang wanita boleh menggunakan inai dan kutek (cat kuku), karena hal ini termasuk urusan dunia dan tidak ada larangan dari agama. Namun, bagi wanita yang menggunakan kutek, ia harus menghilangkannya terlebih dahulu ketika akan berwudhu‘, lantaran kutek itu menghalangi sampainya air wudhu ke kulit atau kuku yang terkena kutek.
Kami juga perlu mengingatkan, kebiasaan sebagian wanita yang memanjangkan kukunya. Hal tersebut menyelisihi sunnah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tentang sunnah fitrah (kesucian). Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
hadist
Fithrah (kesucian) ada lima:
khitan, mencukur rambut kemaluan, memotong kumis,
memotong kuku, dan mencabut rambut ketiak.

(HR Bukhâri no. 5891, Muslim no. 257)
Oleh karena itu, janganlah seorang muslimah menyerupai kebiasaan wanita-wanita kafir dan fasik yang senang berhias dengan memanjangkan kuku dan mewarnainya.